Vonis tiga tahun penjara dan membayar biaya perkara Rp 5.000 bagi Toni Tamsil, terdakwa perintangan penyidikan terkait kasus dugaan korupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, disayangkan. Meski demikian, tuntutan yang rendah untuk Toni Tamsil juga dikritik karena dinilai memperlihatkan kejaksaan tidak serius dalam menangani kasus tersebut.
Toni Tamsil diadili majelis hakim di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Dalam putusan bernomor 6/Pid.Sus-TPK/PN Pgp yang dibacakan pada 29 Agustus 2024, majelis hakim memutuskan Toni melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjatuhkan pidana 3 tahun penjara dipotong masa tahanan, serta membayar biaya perkara Rp 5.000.
Sebelum divonis, jaksa penuntut umum mendakwanya dengan dakwaan kesatu Pasal 21 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau kedua, Pasal 22 UU yang sama.
Dalam tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum pada 1 Agustus 2024, jaksa menilai Toni terbukti melanggar Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. Oleh karena itu, jaksa menuntut Toni dipidana penjara selama 3 tahun 6 bulan, dipidana denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, serta membayar biaya perkara Rp 10.000.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar, ketika dikonfirmasi, Selasa (3/9/2024), mengatakan, jaksa penuntut umum belum bersikap atas putusan majelis hakim PN Pangkalpinang itu. Jaksa bisa mengajukan banding atau tidak terhadap putusan hakim.
”Sikap jaksa penuntut umum, pikir-pikir selama 7 hari setelah putusan dibacakan sesuai hukum acara,” kata Harli.
Toni Tamsil dijadikan tersangka oleh penyidik karena merintangi penyidikan. Dalam proses penggeledahan dan penyitaan di sejumlah lokasi di Bangka Belitung, yang bersangkutan menyembunyikan sejumlah alat bukti. Selain itu, penyidik mendapatkan perlawanan berupa penebaran ranjau paku dan ancaman pembakaran alat berat.
Ia juga dinilai tidak kooperatif selama penyidikan, menghalangi penyidik dengan menutup dan menggembok pintu obyek yang akan digeledah, serta menyembunyikan beberapa dokumen yang dibutuhkan. Toni pun memberikan keterangan tidak benar sebagai saksi dan menghilangkan barang bukti elektronik.
Kejaksaan tidak serius
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada. Zaenur Rohman, berpandangan putusan yang rendah terhadap Toni Tamsil merupakan buntut dari rendahnya tuntutan jaksa penuntut umum. Meskipun majelis hakim bisa memutus lebih tinggi, biasanya tidak jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum yang hanya 3 tahun 6 bulan.
”Untuk kasus seserius kasus timah ini, seharusnya jaksa penuntut umum tegas dan keras dengan mengajukan tuntutan yang tinggi. Undang-Undang Tipikor menyediakan tuntutan maksimal yang tinggi, yakni 12 tahun. Tapi, ternyata jaksa hanya menuntut dengan yang paling rendah,” kata Zaenur.
Dalam Pasal 21 UU Tipikor disebutkan, terdakwa yang dijerat dengan pasal tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling tinggi 12 tahun. Selain itu, terdapat ancaman denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta. Adapun kerugian keuangan negara dalam kasus timah sebesar Rp 300 triliun.
Menurut Zaenur, tuntutan jaksa penuntut umum mencerminkan ketidakseriusan kejaksaan. Meskipun Toni Tamsil tidak terkait pidana pokok, perintangan penyidikan, tinggi-rendahnya tuntutan dapat menunjukkan keseriusan kejaksaan dalam menangani kasus tersebut.
”Kasus obstruction of justice juga perkara yang penting untuk memberikan pesan kepada siapa pun agar tidak sekali-kali merintangi penyidikan agar penyidikan yang dilakukan kejaksaan berjalan lancar dan tuntas. Jadi, kasus ini justru menunjukkan adanya kontradiksi,” kata Zaenur.
Hal meringankan
Terhadap penilaian mengenai ketidakseriusan kejaksaan dengan tuntutan yang rendah tersebut, Harli menjawab, tuntutan pidana penjara 3 tahun dan 6 bulan diputuskan setelah mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Di antaranya Toni Tamsil belum pernah dihukum, bersikap sopan, dan kooperatif selama persidangan.
Meski demikian, putusan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa. ”Antara tuntutan dan putusan tidak persis sama karena denda tidak dipertimbangkan hakim. Hukuman dalam putusan lebih ringan dari tuntutan," kata Harli.
Kasus Timah ini menarik atensi publik karena kerugian negara yang disebut mencapai Rp 300 triliun berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kasusnya sudah bergulir di persidangan. Selain Toni Tamsil di PN Pangkal Pinang, para terdakwa disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Di antara terdakwa pun menarik atensi publik. Salah satunya, Harvey Moeis, suami dari pesohor Sandra Dewi, kemudian crazy rich Pantai Indah Kapuk, Helena Lim. Selain itu, ada pula sejumlah mantan pejabat PT Timah, seperti Mochtar Riza Pahlevi, Emil Ermindra, dan Alwin Akbar.
Akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, yang dalam kasus PT Timah Tbk menjadi ahli, dalam paparannya, pertengahan Februari lalu, mengatakan, kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup yang mencapai ratusan triliun rupiah dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Kerugian tersebut terbagi menjadi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.
____
what do you think ?
Comments